“Etos kerja Pedagang dalam
Islam”
ABSTRAK
Pedagang merupakan orang yang melakukan perdagangan, memperjualbelikan barang yang tidak diproduksi
sendiri, untuk memperoleh suatu keuntungan.
Seperti yang kita ketahui bahwa profesi yang paling
disenangi Allah SWT adalah
pofesi sebagai Petani dan Pedagang, bahkan Rasulullah adalah seorang pedagang. Dalam pandangan ekonomi islam Etoskerja seorang pedagang: 1) Shidiq (Jujur) , 2) Amanah (Tanggungjawab), 3) Tidak Menipu, 4) Menepati Janji, 5) Murah Hati, 6) Tidak Melupakan Akhirat. Serta Ada 2 Prinsip dasar dalam
melakukan perdagangan secara islam : prinsip asas suka sama suka dan prinsip tidak merugikan orang lain. Batas keuntungan pedagang pada dasarnya bebas dengan menentukan harga jual yang dimiliki, akan tetapi pada saat yang
sama pedagang tidak
dibenarkan melanggar dua prinsip niaga diatas. Karenanya para Ulama Fiqh
menegaskan bahwa para pedagang dilarang menempuh cara-cara yang tidak terpuji
dalam meraup keuntungan. Karena tindak sewenang-wenang pedagang dalam
menentukan persentase
keuntungan sering kali bertabrakan dengan kedua prinsip diatas. Terlebih bila
pedagang menggunakan trik-trik yang tidak terpuji. Diantara trik pedagang
serakah yang secara nyata menyelisihi kedua prinsip diatas antara lain: 1) menimbun barang, 2) penipuan, 3) pemalsuan barang.
Kata Kunci: Pedagang, Etoskerja pedagang, Prinsip pedagang, Batas
Keuntungan, Trik pedagang serakah
METODE PENULISAN
Ø
Pengumpulan Data :
Metode Studi Pustaka
informasi
yang dibutuhkan dilakukan
dengan membaca referensi-referensi berhubungan dengan penulisan diperoleh dari buku-buku dan internet.
Ø
Sumber Data
Sumber Data Sekunder Diperoleh
dari :
1)
Catatan
Pengamatan Materi kuliah Agama Islam
II
2)
Data dari Buku
3)
Data dari
Halaman Web
yang memuat informasi-informasi
diperlukan dalam penyusunan penulisan
Ø
Jenis penulisan
Bersifat Deskriptif yang bertujuan memberikan gambaran/penjabaran
tentang kondisi subjek yang diteliti yaitu Profesi Pedagang.
Ø Teknik
analisis data secara Kualitatif.
Mengenai profesi pedagang yang akan dianalisis dengan menggunakan
teknik kualitatif yaitu tidak menggunakan alat statistik, namun
dilakukan dengan menginterpretasi data-data yang
ada kemudian melakukan uraian dan penafsiran.
KERANGKA TEORI
A. Pedagang
Pedagang adalah orang yang melakukan perdagangan, memperjualbelikan barang yang tidak diproduksi
sendiri, untuk memperoleh suatu keuntungan. Kegiatan berdagang biasanya dilakukan di pasar atau
segala tempat sesuai dengan lingkup penjualan dan terkait waktu juga
disesuaikan oleh pedagang sendiri. Sikap seorang pedagang harus miliki naluri
berdagang ,kerja keras, ikhlas, jujur, amanah, adil, dan
transaksi yang dilakukan tidak ada keterpaksaan, serta tidak
merugikan kedua belah pihak.
B. Etos kerja Seorang Pedagang dalam Islam
1. Shidiq
(Jujur)
Seorang pedagang wajib berlaku jujur dalam melakukan
usaha jual beli. Jujur dalam arti luas Tidak berbohong, tidak menipu, tidak
mengada-ngada
fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji.
Dalam Al Qur’an, keharusan bersikap jujur dalam
berdagang, berniaga dan atau jual beli, sudah diterangkan dengan sangat jelas
dan tegas yang antara lain kejujuran tersebut –di beberapa ayat– dihuhungkan
dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan sempurnakanlah
takaran dan timbangan dengan adil”. (Q.S Al An’aam(6): 152)
2. Amanah
(Tanggungjawab)
Setiap pedagang harus bertanggung jawab atas usaha, pekerjaan, dan jabatan
sebagai pedagang yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini
artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang
secara otomatis terbeban di pundaknya.
3. Tidak Menipu
Dalam suatu hadits menyatakan, Sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburuk-buruk
tempat adalah pasar”. (HR. Thabrani). Hal ini lantaran pasar atau tempat di mana
orang jual beli itu dianggap sebagai sebuah tempat yang di dalamnya
penuh dengan penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan, perselisihan dan
keburukan tingkah polah manusia lainnya.
4. Menepati
Janji
Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati
janjinya, baik kepada para pembeli maupun di antara sesama pedagang, terlebih
lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah SWT. Janji yang
harus ditepati oleh para pedagang kepada para pembeli misalnya; tepat waktu
pengiriman, menyerahkan barang yang kualitasnya, kuantitasnya,
warna, ukuran dan atau spesifikasinya sesuai dengan perjanjian semula, memberi
layanan purnaa jual,
garansi dan lain sebagainya. Sedangkan janji yang harus ditepati kepada sesama
para pedagang misalnya; pembayaran dengan jumlah dan waktu yang tepat.
Sementara janji kepada Allah yang harus ditepati oleh
para pedagang Muslim misalnya adalah shalatnya. Sebagaimana Firman Allah dalam
Al Qur’an:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan
atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu
sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih
baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki”
(Q.S Al Jumu’ah (62):10-11)
5. Murah
Hati
Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar
para pedagang selalu bermurah hati dalam melaksanakan jual beli. Murah hati
dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun
tetap penuh tanggungjawab.
Sabda Rasulullah SAW:
“Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati
ketika ia menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak”. (HR. Bukhari)
“Allah memberkahi penjualan yang mudah, pembelian yang
mudah, pembayaran yang mudah dan penagihan yang mudah”. (HR. Aththahawi)
6. Tidak
Melupakan Akhirat
Jual beli adalah perdagangan dunia, sedangkan
melaksanakan kewajiban Syariat Islam adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat
pasti lebih utama ketimbang keuntungan dunia. Maka para pedagang Muslim
sekali-kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari
keuntungan materi dengan meninggalkan keuntungan akhirat. Sehingga
jika datang waktu shalat, mereka wajib melaksanakannya sebelum habis waktunya.
C. DUA PRINSIP
DASAR PERNIAGAAN
1.
Prinsip Asas Suka Sama Suka
Islam menghormati
hak kepemilikan umatnya. Karenanya, Islam mengharamkan kita untuk mengambil hak
saudara kita tanpa kerelaannya –walau sekedar bercanda-.
لَايَأخُذَنَّ
أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًاوَلَاجَادًّاوَإِذَاأَخَذَأَحَدُكُمْ
عَصَاأَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَاعَلَيْهِ.
Janganlah sekali-kali engkau bercanda dengan mengambil
harta saudaramu, dan tidak pula bersungguh-sungguh mengambilnya. Dan bila
engkau terlanjur mengambil tongkat saudaramu, hendaknya engkau segera
mengembalikannya. (HR. Ahmad, 4/221)
Tidak heran bila Islam menggariskan agar setiap perniagaan dilandasi dengan
asas suka sama suka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ
تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ج
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa’/4:29)
2.
Prinsip Tidak Merugikan Orang Lain
Umat Islam adalah umat yang bersatu-padu, sehingga mereka merasa bahwa
penderitaan sesama muslim adalah bagian dari penderitaannya. Allah berfirman,
yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara.” (QS.
Al-Hujurat/49:10).
Dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang
artinya, “Janganlah engkau saling hasad, saling menaikkan penawaran barang
(padahal tidak ingin membelinya), saling membenci, saling merencanakan
kejelekan, saling melangkahi pembelian sebagian lainnya. Jadilah hamba-hamba
Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya.
Tidaklah ia menzhalimi saudaranya, tidak pula ia membiarkannya dianiaya orang
lain dan tidak layak baginya untuk menghina saudaranya. (HR. Bukhari, no.
5717 dan Muslim, no. 2558)
D. Batas
Maksimal Keuntungan Usaha
Tidak ditemukan satu dalilpun yang membatasi keuntungan yang boleh dicari oleh
seorang pedagang dari bisnisnya. Bahkan sebaliknya, ditemukan beberapa dalil
yang menunjukkan bahwa pedagang bebas menentukan prosentase keuntungannya.
Berikut adalah sebagian dari dalil-dalil tersebut:

عَنْ
عُرْوَةَأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلّم، أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي
لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ
إِحْدَاهُمَابِدِينَارٍوَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَالَهُ بِالْبَرَكَةِ
فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْاشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ.
Dari Urwah al Bariqi, bahwasanya Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam memberinya satu dinar uang untuk membeli seekor kambing.
Dengan uang satu dinar tersebut, dia membeli dua ekor kambing dan kemudian
menjual kembali seekor kambing seekor satu dinar. Selanjutnya dia datang
menemui nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan membawa seekor kambing dan
uang satu dinar. (Melihat hal ini) Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
mendoakan keberkahan pada perniagaan sahabat Urwah, sehingga seandainya ia
membeli debu, niscaya ia mendapatkan laba darinya. (HR. Bukhari, no. 3443)
Pada kisah ini, sahabat Urwah Radhiyallahu ‘Anhu dengan modal satu dinar,
ia mendapatkan untung satu dinar atau 100%. Pengambilan untung sebesar 100% ini
mendapat restu dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan bukan hanya
merestui, bahkan beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a agar perniagaan
sahabat Urwah senantiasa diberkahi.
Saudaraku Coba anda cermati alasan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
menolak untuk menentukan harga jual. Alasan beliau ini adalah isyarat nyata
bahwa membatasi harga jual atau mengekang kebebasan pedagang dalam menjual
dagangannya adalah bentuk kezhaliman. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pedagang bebas dalam menentukan harga jual dan besaran keuntungan yang ia
inginkan.
Catatan
Penting:
Walau pada dasarnya pedagang bebas menentukan harga jual yang ia miliki,
akan tetapi pada saat yang sama ia tidak dibenarkan melanggar dua prinsip niaga
diatas. Karenanya para Ulama Fiqh menegaskan bahwa para pedagang dilarang
menempuh cara-cara yang tidak terpuji dalam meraup keuntungan. Karena tindak
sewenang-wenang pedagang dalam menentukan prosentase keuntungan sering kali
bertabrakan dengan kedua prinsip diatas. Terlebih bila pedagang menggunakan
trik-trik yang tidak terpuji.
E. Diantara trik pedagang serakah yang secara nyata
menyelisihi kedua prinsip diatas antara lain :
1. Menimbun Barang
Sebagian pedagang menimbun barang demi ambisi mengeruk keuntungan besar.
Ini menyebabkan barang menjadi langka dipasaran. Akibatnya, masyarakat
terus-menerus menaikkan penawarannya guna mendapatkan barang kebutuhan mereka.
Sikap pedagang nakal ini tentu meresahkan masyarakat banyak. Dan mendapatkan
keuntungan dengan cara semacam ini diharamkan dalam Islam. Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Barangsiapa yang menimbun maka ia telah berbuat dosa. (HR.
Muslim, no. 1605)
2. Penipuan
Karena tidak ingin calon konsumennya memberikan penawaran yang rendah,
sebagian pedagang berulah dengan mengatakan kepada setiap calon konsumennya,
bahwa modal pembeliannya adalah sekian atau sebelumnya telah ada calon konsumen
yang menawar dengan harga tinggi, padahal semuanya itu tidak benar.
Perhatikanlah sebuah hadits riwayat Bukhari no. 2240 dan Muslim, no. 108 yang
artinya, Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak
bicara dan tidak akan dilihat oleh Allah pada hari qiamat yaitu (pertama) orang
yang bersumpah atas barang dagangannya, ‘Sungguh tadi adayang mau beli dengan
harga yang lebih mahal’, padahal ia dusta, dan (kedua) orang yang setelah
shalat Ashar bersumpah dengan sumpah palsu guna merampas harta seorang muslim,
dan (ketiga) orang yang enggan memberikan kelebihan air (yang ada disumurnya),
dan kelak Allah akan berfirman: Pada hari ini Aku akan menghalangimu dari
keutamaan/kemurahan-Ku, sebagaimana dahulu engkau telah menghalangi kelebihan
sesuatu hal yang bukan dihasilkan oleh kedua tanganmu.”
3. Pemalsuan Barang
Tidak asing lagi, bahwa diantara trik pedagang dalam mengeruk keuntungan
ialah dengan memanipulasi barang. Barang buruk dicampur dengan yang baik, dan
barang bekas dikatakan baru. Ulah seperti ini pasti akan mengecewakan konsumen.
Sehingga asas suka sama suka tidak terpenuhi pada perniagaan yang disertai
dengan pemalsuan semacam ini. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengecam pelaku
manipulasi semacam ini.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasannya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pada suatu saat melewati seonggokan
bahan makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya kedalam bahan makanan
tersebut, lalu jari jemari beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam merasakan
sesuatu yang basah, maka beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Apa
ini? Wahai pemilik bahan makanan.” Ia menjawab, ‘Terkena hujan, Wahai
Rasulullah!’ Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Mengapa engkau tidak meletakkannya
dibagian atas, agar dapat diketahui oleh orang, barang siapa yang mengelabui,
maka bukan dari golonganku.” (HR. Muslim, no. 102).
Referensi :
Ø (Sumber
:
http://abudzakwanbelajarislam.blogspot.co.id/2011/02/dalam-berdagang-berapa-keuntngn-yang.html
)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar