Kamis, 03 November 2016

Etos kerja Pedagang dalam Islam





“Etos kerja Pedagang dalam Islam”



ABSTRAK

Pedagang  merupakan orang yang melakukan perdagangan, memperjualbelikan barang yang tidak diproduksi sendiri, untuk memperoleh suatu keuntungan. Seperti yang kita ketahui bahwa profesi yang paling disenangi Allah SWT adalah pofesi sebagai Petani dan Pedagang, bahkan Rasulullah adalah seorang pedagang. Dalam pandangan ekonomi islam Etoskerja seorang pedagang: 1) Shidiq (Jujur) , 2) Amanah (Tanggungjawab), 3) Tidak Menipu, 4) Menepati Janji, 5) Murah Hati, 6) Tidak Melupakan Akhirat. Serta Ada 2 Prinsip dasar dalam melakukan perdagangan secara islam : prinsip asas suka sama suka dan prinsip tidak merugikan orang lain. Batas keuntungan pedagang pada dasarnya bebas dengan menentukan harga jual yang dimiliki, akan tetapi pada saat yang sama pedagang tidak dibenarkan melanggar dua prinsip niaga diatas. Karenanya para Ulama Fiqh menegaskan bahwa para pedagang dilarang menempuh cara-cara yang tidak terpuji dalam meraup keuntungan. Karena tindak sewenang-wenang pedagang dalam menentukan persentase keuntungan sering kali bertabrakan dengan kedua prinsip diatas. Terlebih bila pedagang menggunakan trik-trik yang tidak terpuji. Diantara trik pedagang serakah yang secara nyata menyelisihi kedua prinsip diatas antara lain: 1) menimbun barang, 2) penipuan, 3) pemalsuan barang.


Kata Kunci: Pedagang, Etoskerja pedagang, Prinsip pedagang, Batas Keuntungan, Trik pedagang serakah


METODE PENULISAN


Ø   Pengumpulan Data :
 Metode Studi Pustaka
informasi yang dibutuhkan dilakukan dengan membaca referensi-referensi berhubungan dengan penulisan diperoleh dari buku-buku dan internet.
Ø   Sumber Data
Sumber Data Sekunder Diperoleh dari :
1)      Catatan Pengamatan Materi kuliah Agama Islam II
2)      Data dari Buku
3)      Data dari Halaman Web
           yang memuat informasi-informasi diperlukan dalam penyusunan penulisan
Ø   Jenis penulisan

Bersifat Deskriptif yang bertujuan memberikan gambaran/penjabaran tentang kondisi subjek yang diteliti yaitu Profesi Pedagang.

Ø   Teknik analisis data secara Kualitatif.

Mengenai profesi pedagang yang akan dianalisis dengan menggunakan teknik kualitatif yaitu  tidak menggunakan alat statistik, namun dilakukan dengan menginterpretasi data-data yang ada kemudian melakukan uraian dan penafsiran.


KERANGKA TEORI

A.  Pedagang

Pedagang adalah orang yang melakukan perdagangan, memperjualbelikan barang yang tidak diproduksi sendiri, untuk memperoleh suatu keuntungan. Kegiatan berdagang biasanya dilakukan di pasar atau segala tempat sesuai dengan lingkup penjualan dan terkait waktu juga disesuaikan oleh pedagang sendiri. Sikap seorang pedagang harus miliki naluri berdagang ,kerja keras, ikhlas, jujur, amanah, adil, dan transaksi yang dilakukan tidak ada keterpaksaan, serta tidak merugikan kedua belah pihak.
B. Etos kerja Seorang Pedagang dalam Islam
1. Shidiq (Jujur)
Seorang pedagang wajib berlaku jujur dalam melakukan usaha jual beli. Jujur dalam arti luas Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mengada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji.
Dalam Al Qur’an, keharusan bersikap jujur dalam berdagang, berniaga dan atau jual beli, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebut –di beberapa ayat– dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”. (Q.S Al An’aam(6): 152)
2. Amanah (Tanggungjawab)
Setiap pedagang harus bertanggung jawab atas usaha, pekerjaan, dan jabatan sebagai pedagang yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya.
3. Tidak Menipu
Dalam suatu hadits menyatakan, Sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburuk-buruk tempat adalah pasar”. (HR. Thabrani). Hal ini lantaran pasar atau tempat di mana orang jual beli itu dianggap sebagai sebuah tempat yang di dalamnya penuh dengan penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya.
4. Menepati Janji
Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada para pembeli maupun di antara sesama pedagang, terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah SWT. Janji yang harus ditepati oleh para pedagang kepada para pembeli misalnya; tepat waktu pengiriman, menyerahkan barang yang kualitasnya, kuantitasnya, warna, ukuran dan atau spesifikasinya sesuai dengan perjanjian semula, memberi layanan purnaa jual, garansi dan lain sebagainya. Sedangkan janji yang harus ditepati kepada sesama para pedagang misalnya; pembayaran dengan jumlah dan waktu yang tepat.
Sementara janji kepada Allah yang harus ditepati oleh para pedagang Muslim misalnya adalah shalatnya. Sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur’an:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki” (Q.S Al Jumu’ah (62):10-11)
5. Murah Hati
Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar para pedagang selalu bermurah hati dalam melaksanakan jual beli. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab.
Sabda Rasulullah SAW:
“Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak”. (HR. Bukhari)
“Allah memberkahi penjualan yang mudah, pembelian yang mudah, pembayaran yang mudah dan penagihan yang mudah”. (HR. Aththahawi)
6. Tidak Melupakan Akhirat
Jual beli adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban Syariat Islam adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat pasti lebih utama ketimbang keuntungan dunia. Maka para pedagang Muslim sekali-kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan meninggalkan keuntungan akhirat. Sehingga jika datang waktu shalat, mereka wajib melaksanakannya sebelum habis waktunya.
C.  DUA PRINSIP DASAR PERNIAGAAN

1.      Prinsip Asas Suka Sama Suka
Islam menghormati hak kepemilikan umatnya. Karenanya, Islam mengharamkan kita untuk mengambil hak saudara kita tanpa kerelaannya –walau sekedar bercanda-.
لَايَأخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًاوَلَاجَادًّاوَإِذَاأَخَذَأَحَدُكُمْ عَصَاأَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَاعَلَيْهِ.
Janganlah sekali-kali engkau bercanda dengan mengambil harta saudaramu, dan tidak pula bersungguh-sungguh mengambilnya. Dan bila engkau terlanjur mengambil tongkat saudaramu, hendaknya engkau segera mengembalikannya. (HR. Ahmad, 4/221)

Tidak heran bila Islam menggariskan agar setiap perniagaan dilandasi dengan asas suka sama suka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ج
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa’/4:29)

2.      Prinsip Tidak Merugikan Orang Lain
Umat Islam adalah umat yang bersatu-padu, sehingga mereka merasa bahwa penderitaan sesama muslim adalah bagian dari penderitaannya. Allah berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurat/49:10).

Dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya, “Janganlah engkau saling hasad, saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), saling membenci, saling merencanakan kejelekan, saling melangkahi pembelian sebagian lainnya. Jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidaklah ia menzhalimi saudaranya, tidak pula ia membiarkannya dianiaya orang lain dan tidak layak baginya untuk menghina saudaranya. (HR. Bukhari, no. 5717 dan Muslim, no. 2558)

D.  Batas Maksimal Keuntungan Usaha

Tidak ditemukan satu dalilpun yang membatasi keuntungan yang boleh dicari oleh seorang pedagang dari bisnisnya. Bahkan sebaliknya, ditemukan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa pedagang bebas menentukan prosentase keuntungannya. Berikut adalah sebagian dari dalil-dalil tersebut:

*      Dalil Pertama:
عَنْ عُرْوَةَأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلّم، أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَابِدِينَارٍوَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَالَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْاشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ.
Dari Urwah al Bariqi, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberinya satu dinar uang untuk membeli seekor kambing. Dengan uang satu dinar tersebut, dia membeli dua ekor kambing dan kemudian menjual kembali seekor kambing seekor satu dinar. Selanjutnya dia datang menemui nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. (Melihat hal ini) Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan keberkahan pada perniagaan sahabat Urwah, sehingga seandainya ia membeli debu, niscaya ia mendapatkan laba darinya. (HR. Bukhari, no. 3443)

Pada kisah ini, sahabat Urwah Radhiyallahu ‘Anhu dengan modal satu dinar, ia mendapatkan untung satu dinar atau 100%. Pengambilan untung sebesar 100% ini mendapat restu dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan bukan hanya merestui, bahkan beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a agar perniagaan sahabat Urwah senantiasa diberkahi.

Saudaraku Coba anda cermati alasan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menolak untuk menentukan harga jual. Alasan beliau ini adalah isyarat nyata bahwa membatasi harga jual atau mengekang kebebasan pedagang dalam menjual dagangannya adalah bentuk kezhaliman. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pedagang bebas dalam menentukan harga jual dan besaran keuntungan yang ia inginkan.

Catatan Penting:
Walau pada dasarnya pedagang bebas menentukan harga jual yang ia miliki, akan tetapi pada saat yang sama ia tidak dibenarkan melanggar dua prinsip niaga diatas. Karenanya para Ulama Fiqh menegaskan bahwa para pedagang dilarang menempuh cara-cara yang tidak terpuji dalam meraup keuntungan. Karena tindak sewenang-wenang pedagang dalam menentukan prosentase keuntungan sering kali bertabrakan dengan kedua prinsip diatas. Terlebih bila pedagang menggunakan trik-trik yang tidak terpuji.

E.  Diantara trik pedagang serakah yang secara nyata menyelisihi kedua prinsip diatas antara lain :

1.      Menimbun Barang
Sebagian pedagang menimbun barang demi ambisi mengeruk keuntungan besar. Ini menyebabkan barang menjadi langka dipasaran. Akibatnya, masyarakat terus-menerus menaikkan penawarannya guna mendapatkan barang kebutuhan mereka. Sikap pedagang nakal ini tentu meresahkan masyarakat banyak. Dan mendapatkan keuntungan dengan cara semacam ini diharamkan dalam Islam. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Barangsiapa yang menimbun maka ia telah berbuat dosa. (HR. Muslim, no. 1605)

2.      Penipuan
Karena tidak ingin calon konsumennya memberikan penawaran yang rendah, sebagian pedagang berulah dengan mengatakan kepada setiap calon konsumennya, bahwa modal pembeliannya adalah sekian atau sebelumnya telah ada calon konsumen yang menawar dengan harga tinggi, padahal semuanya itu tidak benar. Perhatikanlah sebuah hadits riwayat Bukhari no. 2240 dan Muslim, no. 108 yang artinya, Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara dan tidak akan dilihat oleh Allah pada hari qiamat yaitu (pertama) orang yang bersumpah atas barang dagangannya, ‘Sungguh tadi adayang mau beli dengan harga yang lebih mahal’, padahal ia dusta, dan (kedua) orang yang setelah shalat Ashar bersumpah dengan sumpah palsu guna merampas harta seorang muslim, dan (ketiga) orang yang enggan memberikan kelebihan air (yang ada disumurnya), dan kelak Allah akan berfirman: Pada hari ini Aku akan menghalangimu dari keutamaan/kemurahan-Ku, sebagaimana dahulu engkau telah menghalangi kelebihan sesuatu hal yang bukan dihasilkan oleh kedua tanganmu.”

3.      Pemalsuan Barang
Tidak asing lagi, bahwa diantara trik pedagang dalam mengeruk keuntungan ialah dengan memanipulasi barang. Barang buruk dicampur dengan yang baik, dan barang bekas dikatakan baru. Ulah seperti ini pasti akan mengecewakan konsumen. Sehingga asas suka sama suka tidak terpenuhi pada perniagaan yang disertai dengan pemalsuan semacam ini. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengecam pelaku manipulasi semacam ini.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pada suatu saat melewati seonggokan bahan makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya kedalam bahan makanan tersebut, lalu jari jemari beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam merasakan sesuatu yang basah, maka beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Apa ini? Wahai pemilik bahan makanan.” Ia menjawab, ‘Terkena hujan, Wahai Rasulullah!’ Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Mengapa engkau tidak meletakkannya dibagian atas, agar dapat diketahui oleh orang, barang siapa yang mengelabui, maka bukan dari golonganku.” (HR. Muslim, no. 102).

Referensi :

Ø  (Sumber : http://abudzakwanbelajarislam.blogspot.co.id/2011/02/dalam-berdagang-berapa-keuntngn-yang.html )



Tidak ada komentar:

Posting Komentar